Selasa, 10 Juni 2014 in

Senja



       Kala itu, aku sedang menikmati indahnya sore di teras rumahku. Aku ditemani oleh segelas besar teh hangat dan setoples cemilan yang tidak ku makan. Aku terlalu sibuk menikmati nyamannya hembusan angin sore yang seolah-olah menghembuskan pula lelahku. Matahari bergerak perlahan menuju persembunyiannya. Memoriku juga bergerak perlahan, perlahan menuju masa lalu seiring berubahnya warna dedaunan di taman rumahku menjadi jingga. Samar-samar bayangan dirinya kembali hadir, Senjaku. Senja yang dulu sering berjalan kaki setiap sore melewati rumahku, kembali hadir walau hanya bayangannya saja. Kerinduanku kepada Senja memunculkan fatamorgana dirinya di otakku. Aku merindukannya, Senja yang mempunyai senyuman hangat dan kata-kata yang membuatku tenang.
***
       Lelaki yang duduk di sampingku ini adalah sahabatku yang bernama Senja. Senja bukanlah nama aslinya, tetapi begitulah aku memanggil dirinya. Aku memanggilnya Senja karena dia selalu ada di sampingku ketika senja datang. Ketika dedaunan, jalan, dan atap-atap rumah berubah warna menjadi jingga, dia selalu ada di sampingku, entah mengobrol, bermain game, atau mendengarkan musik.
Hidupku dan hidupnya dimulai ketika senja datang. Bukan, kami bukanlah pelacur atau pekerja malam, kami hanyalah mahasiswa biasa. Aku dan Senja juga kuliah di pagi hari, tetapi sore hari ketika kuliah usai, bagi kami itulah hidup. Kebosanan selalu mematikan hidup kami, kelas adalah salah satu kebosanan itu sendiri. Ketika kelas usai, kami siap keluar dan memulai kehidupan.
            Aku mengenal Senja sejak kecil, mungkin juga sejak aku lahir. Aku bersahabat dengan lelaki menyenangkan itu. Hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku bersama Senja. Rumahnya ada di samping rumahku, dia teman sepermainanku. Sejak SD hingga SMA kami tidak pernah masuk ke sekolah yang sama, tapi beruntungnya kami karena kami akhirnya masuk ke universitas yang sama, bahkan fakultas yang sama.
            Hari ini, seperti biasanya, aku dan Senja mengerjakan tugas kami di kampus. Scene demi scene ku satukan menjadi sebuah film yang mempunyai alur. Itu memang tugasku sebagai seorang mahasiswa komunikasi, tapi lama kelamaan film itu tidak menyenangkan lagi, aku bosan. Aku melirik ke arah layar laptop Senja. Dia sedang mengetik sebuah essai, terlihat begitu serius, tidak seperti bisasanya.
            “Essai? Tumben,”kataku.
            “Ya gitulah,”jawab Senja singkat.
            “Buat apa?”
            “Biasa.”
            Dia menjawabnya singkat sekali, seperti biasa. Jawaban itu memang singkat, tapi dia tetap mengakhirinya dengan senyuman tulus khas Senja. Hari ini aku menyadarinya, betapa beruntungnya aku mempunyai sahabat seperti Senja. Entahlah, tidak ada yang spesial ataupun berbeda hari ini. Aku tiba-tiba saja tersadar, dibalik jawaban-jawaban singkat, senyum kecil, dan langkah terburu-buru Senja, selalu ada ketulusan untukku, untuk sahabatnya ini.
***
            Matahari senja belum hilang. Sejenak aku masuk ke dalam rumah dan mengambil sebuah album foto yang berharga, album foto yang berisi foto-fotoku dengan Senja. Aku sengaja mengumpulkan kembali foto-fotoku dan Senja sejak kami kecil, lalu aku menggabungkannya menjadi satu di album foto ini. Album ini begitu tebal, ternyata kami memang mempunyai banyak kenangan bersama. Album berharga ini selalu sukses membuatku rindu dengan Senja, semakin rindu dan semakin rindu lagi.
            Senja. Bila Senja sekarang ada di sini, dia pasti sangat senang. Dia selalu suka suasana senja yang tenang dengan hembusan angin pelan seperti sekarang. Apalagi ada setoples kue kering kesukaannya di sini. Aku sengaja tidak memakan kue ini dengan harapan bodoh bahwa Senja akan datang sekarang juga dan memakan semua kue ini. Bodoh sekali, sepertinya aku terlalu merindukan sahabat terbaikku itu.
***
            Ini cafe kesukaan kami. Kami menghabiskan sore dengan sebuah obrolan ringan dan dua gelas besar coklat dingin. Senja bercerita kepadaku tentang teman-teman kuliahnya yang sedang sibuk dengan tugas-tugas politik luar negeri Amerikanya. Sangat menyenangkan mendengarkan Senja bercerita, walau sesungguhnya aku tidak tahu politik luar negeri Amerika itu apa.
            “Oh iya, essai yang kemarin itu juga buat tugasmu?”tanyaku.
            “Nggak,”jawab Senja singkat.
            “Terus?”
            Senja diam sejenak. Dia tampak sedang berfikir. Dia mengetuk-ketukkan jarinya ke meja, seperti biasa ketika dia sedang bingung. Dia menyeruput sedikit coklat dinginnya dan menghela napas.
            “Itu essai buat apply beasiswa ke luar negeri,”kata Senja setelah cukup lama berpikir.
            “Beasiswa ke mana?”tanyaku.
            “Amerika.”
            “Terus? Diterima?”
            “Iya.”
            “Serius? Waah, ternyata kamu keren juga. Selamat, Bro!”
            “Tapi...”
            Senja terdiam lagi. Ada apa dengannya? Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan kepadaku. Apakah itu hal yang penting? Aku ikut diam menunggu Senja mengeluarkan kata-katanya. Aku melihatnya menghela napas beberapa kali dan terus-terusan menyeruput coklat dinginnya. Gugup? Sepertinya dia sekarang sedang gugup. Tapi, kenapa gugup?
            “Aku pergi bulan depan,”kata Senja.
            “Mendadak banget,”responku singkat.
            “Kakakku juga dipindah tugas ke Bandung, jadi rumah bakal kosong.”
            “Serius? Ah, bakal sepi banget ni kayanya.”
            “Sebelum aku pergi, aku pengen kamu tahu sesuatu.”
            “Apaan?”
            “Selama ini aku suka kamu.”
            Apa? Apa yang harus ku katakan untuk menjawab pernyataan cinta Senja? Kami bersahabat, sudah sejak kecil. Mungkinkah dia benar-benar mencintaiku? Ini bukan sesuatu yang benar. Dia tidak boleh mencintai aku, orang-orang sepertiku.
            “Nja, kamu serius?”kataku akhirnya.
            “Aku serius,”jawab Senja.
            “Jangan bertingkah bodoh, Nja! Mana bisa kamu suka aku?
            “Tapi itu yang aku rasain.”
            “Kamu gila, Nja.”
            Kami kemudian pulang tanpa menghabiskan coklat dingin kami. Tidak ada percakapan sama sekali, kami hanya menghabiskan waktu dengan diam. Terlalu canggung untuk memulai percakapan lagi, baik aku ataupun Senja.
***
            Yogyakarta, 5 Desember 2013. Hari ini aku kembali merindukan Senja. Tidak bisakah Senja kembali ke rumah? Tidak bisakah Senja kembali ke hadapanku? Aku ingin menemuinya dan berlari memeluk dirinya. Aku ingin mengoreksi kata-kataku yang dulu. Ini sudah 2 tahun sejak dia pindah ke Amerika, dan sekarang aku sadar ternyata aku tidak bisa hidup tanpa Senja. Waktu itu aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa aku juga sangat membutuhkan Senja. Senja, kembalilah sehingga aku bisa mengungkapkan segalanya kepadamu. Sehingga aku bisa berkata bahwa aku juga mencintaimu.
            Aku melihat kembali rumah kosong yang ada di samping rumahku, rumah milik Senja dulu. Rumah itu begitu kosong, sama seperti hatiku setelah Senja pergi. Rumah itu tampak menangisi kepergian Senja juga setiap malam, sepertiku. Rumah itu menangisi kepergian Senja dengan caranya sendiri. Senja, apakah kau akan pulang? Wahai orang yang berharga di hatiku, cepatlah kembali. Aku tidak bercanda, aku merindukan dirimu.
“Permisi,”Kata pak Pos membuyarkan lamunanku.
“Ada yang bisa saya bantu?”tanyaku sopan.
“Apakah benar ini rumah bapak Heru Kurniawan?”
“Iya, benar, Pak. Saya Heru Kurniawan.”

“Pak Heru, ada kiriman untuk bapak, mohon tanda tangan di sini”

Leave a Reply