Senja
Kala itu, aku sedang menikmati indahnya sore di teras rumahku. Aku ditemani oleh segelas besar teh hangat dan setoples cemilan yang tidak ku makan. Aku terlalu sibuk menikmati nyamannya hembusan angin sore yang seolah-olah menghembuskan pula lelahku. Matahari bergerak perlahan menuju persembunyiannya. Memoriku juga bergerak perlahan, perlahan menuju masa lalu seiring berubahnya warna dedaunan di taman rumahku menjadi jingga. Samar-samar bayangan dirinya kembali hadir, Senjaku. Senja yang dulu sering berjalan kaki setiap sore melewati rumahku, kembali hadir walau hanya bayangannya saja. Kerinduanku kepada Senja memunculkan fatamorgana dirinya di otakku. Aku merindukannya, Senja yang mempunyai senyuman hangat dan kata-kata yang membuatku tenang.
***
Lelaki yang duduk di sampingku ini
adalah sahabatku yang bernama Senja.
Senja bukanlah nama aslinya, tetapi begitulah aku memanggil dirinya. Aku
memanggilnya Senja
karena dia selalu ada di sampingku ketika senja datang. Ketika dedaunan, jalan,
dan atap-atap rumah
berubah warna menjadi jingga, dia selalu ada di sampingku, entah mengobrol,
bermain game, atau mendengarkan musik.
Hidupku
dan hidupnya dimulai ketika senja datang. Bukan, kami bukanlah pelacur atau
pekerja malam, kami hanyalah mahasiswa biasa. Aku dan Senja juga kuliah di pagi hari, tetapi
sore hari ketika kuliah usai, bagi kami itulah hidup. Kebosanan selalu
mematikan hidup kami, kelas adalah salah satu kebosanan itu sendiri. Ketika
kelas usai, kami siap keluar dan memulai kehidupan.
Aku mengenal Senja sejak kecil, mungkin juga sejak
aku lahir. Aku bersahabat dengan lelaki menyenangkan itu. Hampir
setiap hari aku menghabiskan waktuku bersama Senja. Rumahnya ada di samping
rumahku, dia teman sepermainanku. Sejak SD hingga SMA kami tidak pernah masuk
ke sekolah yang sama, tapi beruntungnya kami karena kami akhirnya masuk ke
universitas yang sama, bahkan fakultas yang sama.
Hari ini,
seperti biasanya, aku dan Senja mengerjakan tugas kami di kampus. Scene
demi scene ku satukan menjadi sebuah film yang mempunyai alur. Itu
memang tugasku sebagai seorang mahasiswa komunikasi, tapi lama kelamaan film
itu tidak menyenangkan lagi, aku bosan. Aku melirik ke arah layar laptop Senja.
Dia sedang mengetik sebuah essai, terlihat begitu serius, tidak seperti
bisasanya.
“Essai?
Tumben,”kataku.
“Ya
gitulah,”jawab Senja singkat.
“Buat apa?”
“Biasa.”
Dia
menjawabnya singkat sekali, seperti biasa. Jawaban itu memang singkat, tapi dia
tetap mengakhirinya dengan senyuman tulus khas Senja. Hari ini aku menyadarinya,
betapa beruntungnya aku mempunyai sahabat seperti Senja. Entahlah, tidak ada
yang spesial ataupun berbeda hari ini. Aku tiba-tiba saja tersadar, dibalik
jawaban-jawaban singkat, senyum kecil, dan langkah terburu-buru Senja, selalu
ada ketulusan untukku, untuk sahabatnya ini.
***
Matahari
senja belum hilang. Sejenak aku masuk ke dalam rumah dan mengambil sebuah album
foto yang berharga, album foto yang berisi foto-fotoku dengan Senja. Aku
sengaja mengumpulkan kembali foto-fotoku dan Senja sejak kami kecil, lalu aku
menggabungkannya menjadi satu di album foto ini. Album ini begitu tebal,
ternyata kami memang mempunyai banyak kenangan bersama. Album berharga ini
selalu sukses membuatku rindu dengan Senja, semakin rindu dan semakin rindu
lagi.
Senja. Bila Senja sekarang ada di sini, dia pasti
sangat senang. Dia selalu suka suasana senja yang tenang dengan hembusan angin
pelan seperti sekarang. Apalagi ada setoples kue kering kesukaannya di sini.
Aku sengaja tidak memakan kue ini dengan harapan bodoh bahwa Senja akan datang
sekarang juga dan memakan semua kue ini. Bodoh sekali, sepertinya aku terlalu
merindukan sahabat terbaikku itu.
***
Ini cafe
kesukaan kami. Kami menghabiskan sore dengan sebuah obrolan ringan dan dua
gelas besar coklat dingin. Senja bercerita kepadaku tentang teman-teman
kuliahnya yang sedang sibuk dengan tugas-tugas politik luar negeri Amerikanya.
Sangat menyenangkan mendengarkan Senja bercerita, walau sesungguhnya aku tidak
tahu politik luar negeri Amerika itu apa.
“Oh iya,
essai yang kemarin itu juga buat tugasmu?”tanyaku.
“Nggak,”jawab
Senja singkat.
“Terus?”
Senja diam
sejenak. Dia tampak sedang berfikir. Dia mengetuk-ketukkan jarinya ke meja,
seperti biasa ketika dia sedang bingung. Dia menyeruput sedikit coklat
dinginnya dan menghela napas.
“Itu essai
buat apply beasiswa ke luar negeri,”kata Senja setelah cukup lama berpikir.
“Beasiswa ke
mana?”tanyaku.
“Amerika.”
“Terus?
Diterima?”
“Iya.”
“Serius?
Waah, ternyata kamu keren juga. Selamat, Bro!”
“Tapi...”
Senja terdiam
lagi. Ada apa dengannya? Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan
kepadaku. Apakah itu hal yang penting? Aku ikut diam menunggu Senja
mengeluarkan kata-katanya. Aku melihatnya menghela napas beberapa kali dan
terus-terusan menyeruput coklat dinginnya. Gugup? Sepertinya dia sekarang
sedang gugup. Tapi, kenapa gugup?
“Aku pergi
bulan depan,”kata Senja.
“Mendadak
banget,”responku singkat.
“Kakakku juga
dipindah tugas ke Bandung, jadi rumah bakal kosong.”
“Serius? Ah,
bakal sepi banget ni kayanya.”
“Sebelum aku
pergi, aku pengen kamu tahu sesuatu.”
“Apaan?”
“Selama ini
aku suka kamu.”
Apa? Apa yang
harus ku katakan untuk menjawab pernyataan cinta Senja? Kami bersahabat, sudah sejak
kecil. Mungkinkah dia benar-benar mencintaiku? Ini bukan sesuatu yang benar.
Dia tidak boleh mencintai aku, orang-orang sepertiku.
“Nja, kamu serius?”kataku
akhirnya.
“Aku serius,”jawab Senja.
“Jangan bertingkah bodoh, Nja! Mana bisa kamu
suka aku?”
“Tapi itu yang aku rasain.”
“Kamu gila, Nja.”
Kami kemudian
pulang tanpa
menghabiskan coklat dingin kami. Tidak ada percakapan sama sekali, kami hanya
menghabiskan waktu dengan diam. Terlalu canggung untuk memulai percakapan lagi,
baik aku ataupun Senja.
***
Yogyakarta, 5 Desember 2013. Hari
ini aku kembali merindukan Senja.
Tidak bisakah Senja
kembali ke rumah? Tidak bisakah Senja
kembali ke hadapanku? Aku ingin menemuinya dan berlari memeluk dirinya. Aku
ingin mengoreksi kata-kataku yang dulu. Ini sudah 2 tahun sejak dia pindah
ke Amerika, dan sekarang aku sadar
ternyata aku tidak bisa hidup tanpa Senja.
Waktu itu aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa aku juga sangat membutuhkan
Senja. Senja, kembalilah sehingga aku bisa mengungkapkan
segalanya kepadamu. Sehingga aku bisa berkata bahwa aku juga mencintaimu.
Aku melihat
kembali rumah kosong yang ada di samping rumahku, rumah milik Senja dulu. Rumah
itu begitu kosong, sama seperti hatiku setelah Senja pergi. Rumah itu tampak menangisi kepergian Senja juga setiap malam, sepertiku. Rumah itu menangisi kepergian Senja
dengan caranya sendiri. Senja, apakah kau akan pulang? Wahai orang yang
berharga di hatiku, cepatlah kembali. Aku tidak bercanda, aku merindukan
dirimu.
“Permisi,”Kata pak Pos membuyarkan
lamunanku.
“Ada yang bisa saya bantu?”tanyaku
sopan.
“Apakah benar ini rumah bapak Heru
Kurniawan?”
“Iya, benar, Pak. Saya Heru
Kurniawan.”
“Pak Heru, ada kiriman untuk bapak,
mohon tanda tangan di sini”
Leave a Reply