Seorang Istri
Pada sebuah pagi yang hangat dengan
langit tanpa awan, dia mengajakku berkeliling kota dengan sepeda onthelnya. Aku
duduk di bangku belakang dan dia mengayuh sepeda ini untukku. Mengintip
wajahnya malu-malu, sungguh indah pagi ini. Kota Yogyakarta yang indah pun
tampak seperti surga, karena aku bersama lelaki ini.
Wajahnya tersipu, sama sepertiku.
Gaya malu-malu ala tahun 50-an,
begitulah cinta kami. Kami berhenti di pusat kota Yogyakarta. Di sebuah tempat
yang indah dengan banyak bangunan Belanda dan air mancur besar yang ada di
tengah jalan. Dia masih tersipu, aku juga. Aku bahagia, tapi rasa maluku lebih
kuat. Aku yang biasa banyak bicara pun bisa seketika diam tersipu ketika
bersamanya.
“Gimana kotaku?”tanyanya.
“Indah, mas,”jawabku.
“Kamu suka?”
Aku mengangguk. Aku memang berasal
dari Semarang. Aku dan keluargaku baru saja pindah ke Yogyakarta 3 bulan yang
lalu. Pria ini, Sumarno, adalah teman kuliah masku. Dia adalah lelaki yang
begitu baik dan pintar. Aku terpesona dengannya ketika melihat dia sedang belajar bersama masku di
rumah. Lelaki ini begitu mengagumkan. Siapa yang menyangka dia juga tertarik
kepadaku. Ketika dia mengucapkan kata cintanya di bawah sinar rembulan, sudah
tidak ada lagi alasan
bagiku
untuk menolak perasaannya.
***
1962
Setelah menikmati masa pacaran yang
cukup lama, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Mas Marno sekarang sudah
bekerja di kantor pemerintah, menjadi staf ahli. Gajinya lumayan untuk hidup
keluarga baru kami. Tidak lama setelah menikah, kami pindah ke rumah kami
sendiri, tidak terlalu luas tetapi nyaman untuk kami
tinggali.
Sore itu aku dan Mas Marno
berjalan-jalan,
melewati persawahan di dekat rumah kami. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Sepanjang jalan dia
terus saja tersenyum. Wajahnya begitu cerah, menandingi matahari sore kala
itu.
“Kenapa, mas? Kok
senyam-senyum?”tanyaku.
“Ya soalnya seneng lah, dek,”jawab Mas
Marno.
“Iya, seneng ya, mas. Akhirnya kita
menikah juga.”
“Walah, opo meneh aku. Nikah
sama kembang kampus jhe.”
“Napa ta, mas? Siapa yang kembang kampus?
Aku?”
“Ya kamu lah, dek. Wedhok paling ayu
sak jagad, mosok dudu kembang kampus?”
Aku tersenyum geli sekaligus bahagia
mendengar gombalan suamiku. Dia memelukku dan mencium keningku. Ternyata seperti
ini menikah? Sangat bahagia. Menikmati
hari bersama suami, bercanda, bermesraan, dan bertukar pikiran. Indah
ternyata.
***
1966
Sore itu suamiku, Mas Marno, pulang
dengan wajah yang terlihat lebih lelah daripada biasanya. Salam yang dia
ucapkan ketika masuk ke rumah juga terdengar lirih, terdengar begitu lelah. Dia
melewati dapur tempatku membuatkan teh hangat untuknya dan langsung pergi ke
belakang rumah, tempatnya melakukan hobi mengotak-atik barang. Tumben, pikirku.
Aku meletakkan teh hangat di meja
depan, tempat kami biasa duduk-duduk santai setiap sore. Aku menunggu suamiku
sambil membaca koran. Setelah beberapa saat, suamiku muncul dan duduk di
sampingku. Dia menyeruput tehnya, dia terlihat sedang berfikir.
“Ada apa tho, mas? Lagi ada masalah di kantor?”tanyaku.
“Enggak kok, dek. Masalah apa?
Kantorku kan damai, nggak pernah ada masalah. Ya tho?”jawabnya sedikit bercanda.
Terdapat senyum kecil di wajahnya,
tapi aku melihat pula kekhawatiran di sana. Aku ikut khawatir melihat suamiku
yang tidak mau menceritakan masalahnya kepadaku. Aku yakin dia tidak selingkuh ataupun melirik wanita
lain, tapi pasti ada sesuatu yang serius. Kuhormati rahasia suamiku itu dan
kami mulai mengobrol santai seperti biasanya.
Menjelang petang, ada suara ketukan
pintu yang terkengar kasar. Dua orang berbadan besar dan terlihat seperti
preman, datang ke rumah kami. Suamiku keluar menemui mereka dan menanyakan
kepentingan mereka datang ke rumah kami.
Aku hanya
bisa mencuri dengar percakapan mereka dari dalam rumah.
“Di mana surat itu?”tanya salah satu
dari kedua pria itu kasar.
“Saya nggak tahu, pak. Kenapa anda
menanyakan keberadaan surat yang begitu penting kepada saya?”jawab suamiku.
“Pembohong! Cepat berikan kepada
kami!”
“Betul, pak.”
“Halah! Langsung geledah saja rumah ini!”
Kemudian terdengar bunyi kursi,
meja, asbak, dan lukisan yang dilempar kasar, diobrak-abrik begitu saja oleh
kedua preman itu. Suamiku berusaha menghalangi mereka, tapi kemudian suara tembakan
terdengar begitu pedih di
telinga dan hatiku. Aku membuka tirai pembatas dan melihat kekacauan yang
dibuat kedua preman itu. Suamiku terkapar di lantai penuh darah. Aku berlari
menuju suamiku yang sekarat.
“Dek, jaga anak-anak,”katanya lirih
dan lemas.
Dia kemudian mengucapkan dua kalimat
syahadat dan matanya pun terpejam. Terdapat senyum tipis di wajahnya, tapi itu
bukan senyum yang biasanya, itu adalah sebuah senyuman terakhir. Aku terduduk
lemas di samping tubuh kosong suamiku, kosong tanpa jiwa. Kedua preman itu
mengobrak-abrik seluruh rumahku, mencari sesuatu yang entah itu apa. Aku tidak
peduli dengan mereka. Suamiku mati, mati di depanku.
***
1969
Sudah tiga tahun setelah kematian
suamiku. Anak-anakku sudah mulai besar. Anak pertamaku, Yanto, sekarang sudah masuk SD. Aku
pun sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus, sekiranya cukup untuk membiayai
hidupku dan kedua anakku. Anak keduaku, Supri, sebentar lagi
juga akan masuk sekolah. Aku berusaha menjaga amanah dari suamiku. Aku berusaha
membesarkan kedua anakku dengan baik. Semoga mereka benar-benar menjadi anak
yang baik dan membanggakan aku serta Mas Marno yang sudah ada di surga.
Sudah tiga
tahun setelah kematian suamiku, tetapi hatiku belum berubah. Aku masih sangat mencintainya
dan merindukan keberadaannya. Terkadang, suaranya masih terdengar lirih di telingaku.
Entah itu benar suara mas Marno atau hanya suara ingatanku kepadanya.
Kerinduanku kepada suami tercinta tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku
terlalu mencintai dan merindukan suamiku yang mati dibunuh.
Sepulang dari
kantor pada hari itu, aku begitu merindukannya, merindukan suamiku. Aku pergi
ke belakang rumah, tempat di mana dia dulu sering melakukan hobinya. Aku ingin
mengenangnya, aku tidak ingin rasa rindu ini hilang begitu saja. Bagiku, ketika
ingatan tentang Mas Marno hilang, dia juga akan benar-benar hilang dari dunia
ini. Aku tidak mungkin rela Mas Marno dilupakan begitu saja, setidaknya aku
masih ingat dan begitu mencintainya.
Ruangan itu berdebu, memang sudah lama
aku tidak memasuki ruangan itu. Di meja panjang yang ada di tengah ruangan,
terdapat radio yang belum selesai diperbaiki dan beberapa benda-benda kecil
lainnya. Aku mengamati benda-benda itu dan tersenyum kecil. Mas Marno, dia
belum selesai mengotak-atik radio kesayangannya ternyata.
Aku menyeret sebuah kursi. Awalnya aku
ingin duduk dan mengamati radio kesayangan suamiku ini, tetapi kursi yang ku
seret sedikit aneh. Terdapat suara gemeletak dari dalam kursi. Aku memeriksa
kursi itu dan menemukan sebuah laci rahasia. Di dalam laci itu terdapat
barang-barang penting seperti cicin pernikahan kami, sebuah medali, dan dua
amplop surat. Amplop yang
satu berwarna coklat dan yg lain berwarna putih. Diatas amplop
putih, terdapat namaku yang tertulis jelas. Aku membuka amplop itu dan mulai
membacanya dari awal.
Istri tercintaku,
Maaf aku
harus pergi duluan ke akhirat. Aku tahu, sebentar lagi akan ada antek-antek
Soeharto yang datang mencariku. Aku tidak bisa jamin aku akan tetap hidup
setelah mereka datang. Untuk itu aku menulis surat ini, surat khusus untukmu,
dek. Maafkan suamimu yang tidak becus ini. Aku sangat mencintaimu dan anak-anak
kita, tapi ini pengabdianku untuk bangsa Indonesia, tempat di mana istri
tercinta dan anak-anakku hidup.
Dek, di
amplop coklat itu ada sebuah surat. Jaga surat itu baik-baik. Itu adalah naskah
asli surat perintah 11 Maret. Jangan sampai surat itu jatuh ke tangan Soeharto
atau antek-anteknya.
Surat itu adalah sejarah bangsa ini. Nantinya, rakyat Indonesia harus tahu
mengenai surat perintah 11 Maret yang asli. Ketika waktunya tepat, sampaikan
surat itu kepada dunia! Aku tahu kamu, dek. Aku tidak hanya menikahi seorang
wanita yang cantik, tetapi wanita yang aku nikahi ini juga seorang wanita yang
begitu pintar. Jangan bahayakan dirimu, tunggu waktu yang tepat untuk
mengungkapkan surat ini kepada masyarakat luas.
Dek, maafkan
aku. Kamu harus menjaga kedua anak kita sendirian. Tapi ini sudah takdir bagi
kita. Aku sangat mencintaimu, aku yakin kematian juga tidak akan menghilangkan
rasa cintaku kepadamu. Sekian, sampaikan rasa cintaku kepada anak-anak dan
tolong ceritakan tentangku kepada Supri. Katakan maafku kepadanya karena
bapaknya ini harus meninggal ketika dia masih kecil dan belum bisa mengingat
apapun tentangku. Sampaikan juga rasa banggaku kepada Yanto, bapak begitu
bangga melihatmu yang pintar menggambar dan begitu menyayangi adiknya. Dek,
kamu tidak perlu ragu tentang rasa cintaku kepadamu dan keluarga kita. Aku
minta tolong kepadamu, jaga naskah asli surat perintah 11 Maret itu. Jangan
buat aku mati sia-sia. Aku mencintamu.
Suamimu,
Sumarno
***
1982
Sudah 16
tahun aku menjanda. Tidak pernah sekalipun terfikir olehku untuk menikah lagi.
Bagi Mas Marno, kematian adalah bentuk pengabdiannya kepada negara. Bagiku, ini
adalah bentuk pengabdianku kepada Mas Marno. Aku mengabdikan hidup dan cintaku
hanya untuknya.
Anak-anakku
sudah mulai besar. Yanto sedang belajar arsitektur di sebuah universitas
ternama di Yogyakarta. Supri sebentar lagi juga akan kuliah. Katanya, dia ingin
belajar sejarah. Dia sangat suka sejarah karena aku yang selalu menceritakan
sejarah serta bapaknya yang juga merupakan pelaku sejarah, seperti apa yang
diamanahkan Mas Marno kepadaku.
Aku tidak
pernah menyuruh mereka belajar ini atau itu, mereka memilih jalannya sendiri.
Syukurlah, jalan yang mereka pilih adalah jalan yang baik dan membanggakanku.
Tak kusangka anak keduaku ingin menjadi seorang sejarahwan. Semoga nantinya dia
menjadi seorang sejarawan yang berpengaruh, supaya aku bisa mewariskan surat
itu kepadanya, naskah asli surat perintah 11 Maret.
Sungguh aku
tidak ingin membebani anak-anakku, tetapi harapan ini tiba-tiba berkembang
begitu besar. Kata-kata Supri ketika mengungkapkan niatannya mempelajari
sejarah seperti pupuk yang membuat harapanku tumbuh dengan cepat. Sebuah
tanggung jawab besar untuk menyampaikan sebuah rahasia terpendam negara ini
akan kuserahkan kepada anak keduaku ini. Setiap hari aku berdoa demi kesuksesan
anak-anakku. Ketika kesuksesan itu dikabulkan oleh Allah, maka akan kuserahkan
amanah besar ini dan aku bisa mati menyusul mas Marno dengan tenang.
Leave a Reply