Selasa, 10 Juni 2014 in

Seorang Istri




1959
            Pada sebuah pagi yang hangat dengan langit tanpa awan, dia mengajakku berkeliling kota dengan sepeda onthelnya. Aku duduk di bangku belakang dan dia mengayuh sepeda ini untukku. Mengintip wajahnya malu-malu, sungguh indah pagi ini. Kota Yogyakarta yang indah pun tampak seperti surga, karena aku bersama lelaki ini.
            Wajahnya tersipu, sama sepertiku. Gaya malu-malu ala tahun 50-an, begitulah cinta kami. Kami berhenti di pusat kota Yogyakarta. Di sebuah tempat yang indah dengan banyak bangunan Belanda dan air mancur besar yang ada di tengah jalan. Dia masih tersipu, aku juga. Aku bahagia, tapi rasa maluku lebih kuat. Aku yang biasa banyak bicara pun bisa seketika diam tersipu ketika bersamanya.
            “Gimana kotaku?”tanyanya.
            “Indah, mas,”jawabku.
            “Kamu suka?”
            Aku mengangguk. Aku memang berasal dari Semarang. Aku dan keluargaku baru saja pindah ke Yogyakarta 3 bulan yang lalu. Pria ini, Sumarno, adalah teman kuliah masku. Dia adalah lelaki yang begitu baik dan pintar. Aku terpesona dengannya ketika melihat dia sedang belajar bersama masku di rumah. Lelaki ini begitu mengagumkan. Siapa yang menyangka dia juga tertarik kepadaku. Ketika dia mengucapkan kata cintanya di bawah sinar rembulan, sudah tidak ada lagi alasan bagiku untuk menolak perasaannya.
***
1962
            Setelah menikmati masa pacaran yang cukup lama, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Mas Marno sekarang sudah bekerja di kantor pemerintah, menjadi staf ahli. Gajinya lumayan untuk hidup keluarga baru kami. Tidak lama setelah menikah, kami pindah ke rumah kami sendiri, tidak terlalu luas tetapi nyaman untuk kami tinggali.
            Sore itu aku dan Mas Marno berjalan-jalan, melewati persawahan di dekat rumah kami. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Sepanjang jalan dia terus saja tersenyum. Wajahnya begitu cerah, menandingi matahari sore kala itu.
            “Kenapa, mas? Kok senyam-senyum?”tanyaku.
            “Ya soalnya seneng lah, dek,”jawab Mas Marno.
            “Iya, seneng ya, mas. Akhirnya kita menikah juga.”
            “Walah, opo meneh aku. Nikah sama kembang kampus jhe.”
            “Napa ta, mas? Siapa yang kembang kampus? Aku?”
            “Ya kamu lah, dek. Wedhok paling ayu sak jagad, mosok dudu kembang kampus?
            Aku tersenyum geli sekaligus bahagia mendengar gombalan suamiku. Dia memelukku dan mencium keningku. Ternyata seperti ini menikah? Sangat bahagia. Menikmati hari bersama suami, bercanda, bermesraan, dan bertukar pikiran. Indah ternyata.
***
1966
            Sore itu suamiku, Mas Marno, pulang dengan wajah yang terlihat lebih lelah daripada biasanya. Salam yang dia ucapkan ketika masuk ke rumah juga terdengar lirih, terdengar begitu lelah. Dia melewati dapur tempatku membuatkan teh hangat untuknya dan langsung pergi ke belakang rumah, tempatnya melakukan hobi mengotak-atik barang. Tumben, pikirku.
            Aku meletakkan teh hangat di meja depan, tempat kami biasa duduk-duduk santai setiap sore. Aku menunggu suamiku sambil membaca koran. Setelah beberapa saat, suamiku muncul dan duduk di sampingku. Dia menyeruput tehnya, dia terlihat sedang berfikir.
            “Ada apa tho, mas? Lagi ada masalah di kantor?”tanyaku.
            “Enggak kok, dek. Masalah apa? Kantorku kan damai, nggak pernah ada masalah. Ya tho?”jawabnya sedikit bercanda.
            Terdapat senyum kecil di wajahnya, tapi aku melihat pula kekhawatiran di sana. Aku ikut khawatir melihat suamiku yang tidak mau menceritakan masalahnya kepadaku. Aku yakin dia tidak selingkuh ataupun melirik wanita lain, tapi pasti ada sesuatu yang serius. Kuhormati rahasia suamiku itu dan kami mulai mengobrol santai seperti biasanya.
            Menjelang petang, ada suara ketukan pintu yang terkengar kasar. Dua orang berbadan besar dan terlihat seperti preman, datang ke rumah kami. Suamiku keluar menemui mereka dan menanyakan kepentingan mereka datang ke rumah kami. Aku hanya bisa mencuri dengar percakapan mereka dari dalam rumah.
            “Di mana surat itu?”tanya salah satu dari kedua pria itu kasar.
            “Saya nggak tahu, pak. Kenapa anda menanyakan keberadaan surat yang begitu penting kepada saya?”jawab suamiku.
            “Pembohong! Cepat berikan kepada kami!”
            “Betul, pak.”
            “Halah! Langsung geledah saja rumah ini!”
            Kemudian terdengar bunyi kursi, meja, asbak, dan lukisan yang dilempar kasar, diobrak-abrik begitu saja oleh kedua preman itu. Suamiku berusaha menghalangi mereka, tapi kemudian suara tembakan terdengar begitu pedih di telinga dan hatiku. Aku membuka tirai pembatas dan melihat kekacauan yang dibuat kedua preman itu. Suamiku terkapar di lantai penuh darah. Aku berlari menuju suamiku yang sekarat.
            “Dek, jaga anak-anak,”katanya lirih dan lemas.
            Dia kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat dan matanya pun terpejam. Terdapat senyum tipis di wajahnya, tapi itu bukan senyum yang biasanya, itu adalah sebuah senyuman terakhir. Aku terduduk lemas di samping tubuh kosong suamiku, kosong tanpa jiwa. Kedua preman itu mengobrak-abrik seluruh rumahku, mencari sesuatu yang entah itu apa. Aku tidak peduli dengan mereka. Suamiku mati, mati di depanku.
***
1969
            Sudah tiga tahun setelah kematian suamiku. Anak-anakku sudah mulai besar. Anak pertamaku, Yanto, sekarang sudah masuk SD. Aku pun sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus, sekiranya cukup untuk membiayai hidupku dan kedua anakku. Anak keduaku, Supri, sebentar lagi juga akan masuk sekolah. Aku berusaha menjaga amanah dari suamiku. Aku berusaha membesarkan kedua anakku dengan baik. Semoga mereka benar-benar menjadi anak yang baik dan membanggakan aku serta Mas Marno yang sudah ada di surga.
            Sudah tiga tahun setelah kematian suamiku, tetapi hatiku belum berubah. Aku masih sangat mencintainya dan merindukan keberadaannya. Terkadang, suaranya masih terdengar lirih di telingaku. Entah itu benar suara mas Marno atau hanya suara ingatanku kepadanya. Kerinduanku kepada suami tercinta tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku terlalu mencintai dan merindukan suamiku yang mati dibunuh.
            Sepulang dari kantor pada hari itu, aku begitu merindukannya, merindukan suamiku. Aku pergi ke belakang rumah, tempat di mana dia dulu sering melakukan hobinya. Aku ingin mengenangnya, aku tidak ingin rasa rindu ini hilang begitu saja. Bagiku, ketika ingatan tentang Mas Marno hilang, dia juga akan benar-benar hilang dari dunia ini. Aku tidak mungkin rela Mas Marno dilupakan begitu saja, setidaknya aku masih ingat dan begitu mencintainya.
Ruangan itu berdebu, memang sudah lama aku tidak memasuki ruangan itu. Di meja panjang yang ada di tengah ruangan, terdapat radio yang belum selesai diperbaiki dan beberapa benda-benda kecil lainnya. Aku mengamati benda-benda itu dan tersenyum kecil. Mas Marno, dia belum selesai mengotak-atik radio kesayangannya ternyata.
Aku menyeret sebuah kursi. Awalnya aku ingin duduk dan mengamati radio kesayangan suamiku ini, tetapi kursi yang ku seret sedikit aneh. Terdapat suara gemeletak dari dalam kursi. Aku memeriksa kursi itu dan menemukan sebuah laci rahasia. Di dalam laci itu terdapat barang-barang penting seperti cicin pernikahan kami, sebuah medali, dan dua amplop surat. Amplop yang satu berwarna coklat dan yg lain berwarna putih. Diatas amplop putih, terdapat namaku yang tertulis jelas. Aku membuka amplop itu dan mulai membacanya dari awal.
Istri tercintaku,
            Maaf aku harus pergi duluan ke akhirat. Aku tahu, sebentar lagi akan ada antek-antek Soeharto yang datang mencariku. Aku tidak bisa jamin aku akan tetap hidup setelah mereka datang. Untuk itu aku menulis surat ini, surat khusus untukmu, dek. Maafkan suamimu yang tidak becus ini. Aku sangat mencintaimu dan anak-anak kita, tapi ini pengabdianku untuk bangsa Indonesia, tempat di mana istri tercinta dan anak-anakku hidup.
            Dek, di amplop coklat itu ada sebuah surat. Jaga surat itu baik-baik. Itu adalah naskah asli surat perintah 11 Maret. Jangan sampai surat itu jatuh ke tangan Soeharto atau antek-anteknya. Surat itu adalah sejarah bangsa ini. Nantinya, rakyat Indonesia harus tahu mengenai surat perintah 11 Maret yang asli. Ketika waktunya tepat, sampaikan surat itu kepada dunia! Aku tahu kamu, dek. Aku tidak hanya menikahi seorang wanita yang cantik, tetapi wanita yang aku nikahi ini juga seorang wanita yang begitu pintar. Jangan bahayakan dirimu, tunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan surat ini kepada masyarakat luas.
            Dek, maafkan aku. Kamu harus menjaga kedua anak kita sendirian. Tapi ini sudah takdir bagi kita. Aku sangat mencintaimu, aku yakin kematian juga tidak akan menghilangkan rasa cintaku kepadamu. Sekian, sampaikan rasa cintaku kepada anak-anak dan tolong ceritakan tentangku kepada Supri. Katakan maafku kepadanya karena bapaknya ini harus meninggal ketika dia masih kecil dan belum bisa mengingat apapun tentangku. Sampaikan juga rasa banggaku kepada Yanto, bapak begitu bangga melihatmu yang pintar menggambar dan begitu menyayangi adiknya. Dek, kamu tidak perlu ragu tentang rasa cintaku kepadamu dan keluarga kita. Aku minta tolong kepadamu, jaga naskah asli surat perintah 11 Maret itu. Jangan buat aku mati sia-sia. Aku mencintamu.
                                                                                                            Suamimu,
                                                                                                            Sumarno
***
1982
            Sudah 16 tahun aku menjanda. Tidak pernah sekalipun terfikir olehku untuk menikah lagi. Bagi Mas Marno, kematian adalah bentuk pengabdiannya kepada negara. Bagiku, ini adalah bentuk pengabdianku kepada Mas Marno. Aku mengabdikan hidup dan cintaku hanya untuknya.
            Anak-anakku sudah mulai besar. Yanto sedang belajar arsitektur di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Supri sebentar lagi juga akan kuliah. Katanya, dia ingin belajar sejarah. Dia sangat suka sejarah karena aku yang selalu menceritakan sejarah serta bapaknya yang juga merupakan pelaku sejarah, seperti apa yang diamanahkan Mas Marno kepadaku.
            Aku tidak pernah menyuruh mereka belajar ini atau itu, mereka memilih jalannya sendiri. Syukurlah, jalan yang mereka pilih adalah jalan yang baik dan membanggakanku. Tak kusangka anak keduaku ingin menjadi seorang sejarahwan. Semoga nantinya dia menjadi seorang sejarawan yang berpengaruh, supaya aku bisa mewariskan surat itu kepadanya, naskah asli surat perintah 11 Maret.

            Sungguh aku tidak ingin membebani anak-anakku, tetapi harapan ini tiba-tiba berkembang begitu besar. Kata-kata Supri ketika mengungkapkan niatannya mempelajari sejarah seperti pupuk yang membuat harapanku tumbuh dengan cepat. Sebuah tanggung jawab besar untuk menyampaikan sebuah rahasia terpendam negara ini akan kuserahkan kepada anak keduaku ini. Setiap hari aku berdoa demi kesuksesan anak-anakku. Ketika kesuksesan itu dikabulkan oleh Allah, maka akan kuserahkan amanah besar ini dan aku bisa mati menyusul mas Marno dengan tenang.

Leave a Reply