You Are At The Archives for 2014

Senin, 30 Juni 2014

Ragu


Sebuah keindahan menemaniku di samping desiran angin malam
Aku memperhatikan matanya yang tak henti membawa kebahagian
Aku takut untuk cukup,
tapi apakah ini tak cukup?
Sang kebingungan tengah berlarian di dalam otakku
Seperti bercanda
Tapi tak bercanda.
Aku di sini ragu
Aku ini seperti awan yang ikut kemana angin bergerak
Aku sedang menuju sebuah gunung
Berencana memberikan kesejukanku di sana
Tapi kenapa ada kau, sang gunung yang lain
Awalnya aku terpaksa,
Tapi lama-lama aku terpesona juga.
Oleh keindahan di segala sisimu.
Lihatkah kau raut kebingunganku di sini?
Lihatlah kau wujudku yang sedang memikirkanmu?
Bolehkah aku memberikan seluruh kesejukanku di sini?
Di gunung lain yang tak kutuju


Selasa, 10 Juni 2014 in

Senja



       Kala itu, aku sedang menikmati indahnya sore di teras rumahku. Aku ditemani oleh segelas besar teh hangat dan setoples cemilan yang tidak ku makan. Aku terlalu sibuk menikmati nyamannya hembusan angin sore yang seolah-olah menghembuskan pula lelahku. Matahari bergerak perlahan menuju persembunyiannya. Memoriku juga bergerak perlahan, perlahan menuju masa lalu seiring berubahnya warna dedaunan di taman rumahku menjadi jingga. Samar-samar bayangan dirinya kembali hadir, Senjaku. Senja yang dulu sering berjalan kaki setiap sore melewati rumahku, kembali hadir walau hanya bayangannya saja. Kerinduanku kepada Senja memunculkan fatamorgana dirinya di otakku. Aku merindukannya, Senja yang mempunyai senyuman hangat dan kata-kata yang membuatku tenang.
***
       Lelaki yang duduk di sampingku ini adalah sahabatku yang bernama Senja. Senja bukanlah nama aslinya, tetapi begitulah aku memanggil dirinya. Aku memanggilnya Senja karena dia selalu ada di sampingku ketika senja datang. Ketika dedaunan, jalan, dan atap-atap rumah berubah warna menjadi jingga, dia selalu ada di sampingku, entah mengobrol, bermain game, atau mendengarkan musik.
Hidupku dan hidupnya dimulai ketika senja datang. Bukan, kami bukanlah pelacur atau pekerja malam, kami hanyalah mahasiswa biasa. Aku dan Senja juga kuliah di pagi hari, tetapi sore hari ketika kuliah usai, bagi kami itulah hidup. Kebosanan selalu mematikan hidup kami, kelas adalah salah satu kebosanan itu sendiri. Ketika kelas usai, kami siap keluar dan memulai kehidupan.
            Aku mengenal Senja sejak kecil, mungkin juga sejak aku lahir. Aku bersahabat dengan lelaki menyenangkan itu. Hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku bersama Senja. Rumahnya ada di samping rumahku, dia teman sepermainanku. Sejak SD hingga SMA kami tidak pernah masuk ke sekolah yang sama, tapi beruntungnya kami karena kami akhirnya masuk ke universitas yang sama, bahkan fakultas yang sama.
            Hari ini, seperti biasanya, aku dan Senja mengerjakan tugas kami di kampus. Scene demi scene ku satukan menjadi sebuah film yang mempunyai alur. Itu memang tugasku sebagai seorang mahasiswa komunikasi, tapi lama kelamaan film itu tidak menyenangkan lagi, aku bosan. Aku melirik ke arah layar laptop Senja. Dia sedang mengetik sebuah essai, terlihat begitu serius, tidak seperti bisasanya.
            “Essai? Tumben,”kataku.
            “Ya gitulah,”jawab Senja singkat.
            “Buat apa?”
            “Biasa.”
            Dia menjawabnya singkat sekali, seperti biasa. Jawaban itu memang singkat, tapi dia tetap mengakhirinya dengan senyuman tulus khas Senja. Hari ini aku menyadarinya, betapa beruntungnya aku mempunyai sahabat seperti Senja. Entahlah, tidak ada yang spesial ataupun berbeda hari ini. Aku tiba-tiba saja tersadar, dibalik jawaban-jawaban singkat, senyum kecil, dan langkah terburu-buru Senja, selalu ada ketulusan untukku, untuk sahabatnya ini.
***
            Matahari senja belum hilang. Sejenak aku masuk ke dalam rumah dan mengambil sebuah album foto yang berharga, album foto yang berisi foto-fotoku dengan Senja. Aku sengaja mengumpulkan kembali foto-fotoku dan Senja sejak kami kecil, lalu aku menggabungkannya menjadi satu di album foto ini. Album ini begitu tebal, ternyata kami memang mempunyai banyak kenangan bersama. Album berharga ini selalu sukses membuatku rindu dengan Senja, semakin rindu dan semakin rindu lagi.
            Senja. Bila Senja sekarang ada di sini, dia pasti sangat senang. Dia selalu suka suasana senja yang tenang dengan hembusan angin pelan seperti sekarang. Apalagi ada setoples kue kering kesukaannya di sini. Aku sengaja tidak memakan kue ini dengan harapan bodoh bahwa Senja akan datang sekarang juga dan memakan semua kue ini. Bodoh sekali, sepertinya aku terlalu merindukan sahabat terbaikku itu.
***
            Ini cafe kesukaan kami. Kami menghabiskan sore dengan sebuah obrolan ringan dan dua gelas besar coklat dingin. Senja bercerita kepadaku tentang teman-teman kuliahnya yang sedang sibuk dengan tugas-tugas politik luar negeri Amerikanya. Sangat menyenangkan mendengarkan Senja bercerita, walau sesungguhnya aku tidak tahu politik luar negeri Amerika itu apa.
            “Oh iya, essai yang kemarin itu juga buat tugasmu?”tanyaku.
            “Nggak,”jawab Senja singkat.
            “Terus?”
            Senja diam sejenak. Dia tampak sedang berfikir. Dia mengetuk-ketukkan jarinya ke meja, seperti biasa ketika dia sedang bingung. Dia menyeruput sedikit coklat dinginnya dan menghela napas.
            “Itu essai buat apply beasiswa ke luar negeri,”kata Senja setelah cukup lama berpikir.
            “Beasiswa ke mana?”tanyaku.
            “Amerika.”
            “Terus? Diterima?”
            “Iya.”
            “Serius? Waah, ternyata kamu keren juga. Selamat, Bro!”
            “Tapi...”
            Senja terdiam lagi. Ada apa dengannya? Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan kepadaku. Apakah itu hal yang penting? Aku ikut diam menunggu Senja mengeluarkan kata-katanya. Aku melihatnya menghela napas beberapa kali dan terus-terusan menyeruput coklat dinginnya. Gugup? Sepertinya dia sekarang sedang gugup. Tapi, kenapa gugup?
            “Aku pergi bulan depan,”kata Senja.
            “Mendadak banget,”responku singkat.
            “Kakakku juga dipindah tugas ke Bandung, jadi rumah bakal kosong.”
            “Serius? Ah, bakal sepi banget ni kayanya.”
            “Sebelum aku pergi, aku pengen kamu tahu sesuatu.”
            “Apaan?”
            “Selama ini aku suka kamu.”
            Apa? Apa yang harus ku katakan untuk menjawab pernyataan cinta Senja? Kami bersahabat, sudah sejak kecil. Mungkinkah dia benar-benar mencintaiku? Ini bukan sesuatu yang benar. Dia tidak boleh mencintai aku, orang-orang sepertiku.
            “Nja, kamu serius?”kataku akhirnya.
            “Aku serius,”jawab Senja.
            “Jangan bertingkah bodoh, Nja! Mana bisa kamu suka aku?
            “Tapi itu yang aku rasain.”
            “Kamu gila, Nja.”
            Kami kemudian pulang tanpa menghabiskan coklat dingin kami. Tidak ada percakapan sama sekali, kami hanya menghabiskan waktu dengan diam. Terlalu canggung untuk memulai percakapan lagi, baik aku ataupun Senja.
***
            Yogyakarta, 5 Desember 2013. Hari ini aku kembali merindukan Senja. Tidak bisakah Senja kembali ke rumah? Tidak bisakah Senja kembali ke hadapanku? Aku ingin menemuinya dan berlari memeluk dirinya. Aku ingin mengoreksi kata-kataku yang dulu. Ini sudah 2 tahun sejak dia pindah ke Amerika, dan sekarang aku sadar ternyata aku tidak bisa hidup tanpa Senja. Waktu itu aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa aku juga sangat membutuhkan Senja. Senja, kembalilah sehingga aku bisa mengungkapkan segalanya kepadamu. Sehingga aku bisa berkata bahwa aku juga mencintaimu.
            Aku melihat kembali rumah kosong yang ada di samping rumahku, rumah milik Senja dulu. Rumah itu begitu kosong, sama seperti hatiku setelah Senja pergi. Rumah itu tampak menangisi kepergian Senja juga setiap malam, sepertiku. Rumah itu menangisi kepergian Senja dengan caranya sendiri. Senja, apakah kau akan pulang? Wahai orang yang berharga di hatiku, cepatlah kembali. Aku tidak bercanda, aku merindukan dirimu.
“Permisi,”Kata pak Pos membuyarkan lamunanku.
“Ada yang bisa saya bantu?”tanyaku sopan.
“Apakah benar ini rumah bapak Heru Kurniawan?”
“Iya, benar, Pak. Saya Heru Kurniawan.”

“Pak Heru, ada kiriman untuk bapak, mohon tanda tangan di sini”

in

Seorang Istri




1959
            Pada sebuah pagi yang hangat dengan langit tanpa awan, dia mengajakku berkeliling kota dengan sepeda onthelnya. Aku duduk di bangku belakang dan dia mengayuh sepeda ini untukku. Mengintip wajahnya malu-malu, sungguh indah pagi ini. Kota Yogyakarta yang indah pun tampak seperti surga, karena aku bersama lelaki ini.
            Wajahnya tersipu, sama sepertiku. Gaya malu-malu ala tahun 50-an, begitulah cinta kami. Kami berhenti di pusat kota Yogyakarta. Di sebuah tempat yang indah dengan banyak bangunan Belanda dan air mancur besar yang ada di tengah jalan. Dia masih tersipu, aku juga. Aku bahagia, tapi rasa maluku lebih kuat. Aku yang biasa banyak bicara pun bisa seketika diam tersipu ketika bersamanya.
            “Gimana kotaku?”tanyanya.
            “Indah, mas,”jawabku.
            “Kamu suka?”
            Aku mengangguk. Aku memang berasal dari Semarang. Aku dan keluargaku baru saja pindah ke Yogyakarta 3 bulan yang lalu. Pria ini, Sumarno, adalah teman kuliah masku. Dia adalah lelaki yang begitu baik dan pintar. Aku terpesona dengannya ketika melihat dia sedang belajar bersama masku di rumah. Lelaki ini begitu mengagumkan. Siapa yang menyangka dia juga tertarik kepadaku. Ketika dia mengucapkan kata cintanya di bawah sinar rembulan, sudah tidak ada lagi alasan bagiku untuk menolak perasaannya.
***
1962
            Setelah menikmati masa pacaran yang cukup lama, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Mas Marno sekarang sudah bekerja di kantor pemerintah, menjadi staf ahli. Gajinya lumayan untuk hidup keluarga baru kami. Tidak lama setelah menikah, kami pindah ke rumah kami sendiri, tidak terlalu luas tetapi nyaman untuk kami tinggali.
            Sore itu aku dan Mas Marno berjalan-jalan, melewati persawahan di dekat rumah kami. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Sepanjang jalan dia terus saja tersenyum. Wajahnya begitu cerah, menandingi matahari sore kala itu.
            “Kenapa, mas? Kok senyam-senyum?”tanyaku.
            “Ya soalnya seneng lah, dek,”jawab Mas Marno.
            “Iya, seneng ya, mas. Akhirnya kita menikah juga.”
            “Walah, opo meneh aku. Nikah sama kembang kampus jhe.”
            “Napa ta, mas? Siapa yang kembang kampus? Aku?”
            “Ya kamu lah, dek. Wedhok paling ayu sak jagad, mosok dudu kembang kampus?
            Aku tersenyum geli sekaligus bahagia mendengar gombalan suamiku. Dia memelukku dan mencium keningku. Ternyata seperti ini menikah? Sangat bahagia. Menikmati hari bersama suami, bercanda, bermesraan, dan bertukar pikiran. Indah ternyata.
***
1966
            Sore itu suamiku, Mas Marno, pulang dengan wajah yang terlihat lebih lelah daripada biasanya. Salam yang dia ucapkan ketika masuk ke rumah juga terdengar lirih, terdengar begitu lelah. Dia melewati dapur tempatku membuatkan teh hangat untuknya dan langsung pergi ke belakang rumah, tempatnya melakukan hobi mengotak-atik barang. Tumben, pikirku.
            Aku meletakkan teh hangat di meja depan, tempat kami biasa duduk-duduk santai setiap sore. Aku menunggu suamiku sambil membaca koran. Setelah beberapa saat, suamiku muncul dan duduk di sampingku. Dia menyeruput tehnya, dia terlihat sedang berfikir.
            “Ada apa tho, mas? Lagi ada masalah di kantor?”tanyaku.
            “Enggak kok, dek. Masalah apa? Kantorku kan damai, nggak pernah ada masalah. Ya tho?”jawabnya sedikit bercanda.
            Terdapat senyum kecil di wajahnya, tapi aku melihat pula kekhawatiran di sana. Aku ikut khawatir melihat suamiku yang tidak mau menceritakan masalahnya kepadaku. Aku yakin dia tidak selingkuh ataupun melirik wanita lain, tapi pasti ada sesuatu yang serius. Kuhormati rahasia suamiku itu dan kami mulai mengobrol santai seperti biasanya.
            Menjelang petang, ada suara ketukan pintu yang terkengar kasar. Dua orang berbadan besar dan terlihat seperti preman, datang ke rumah kami. Suamiku keluar menemui mereka dan menanyakan kepentingan mereka datang ke rumah kami. Aku hanya bisa mencuri dengar percakapan mereka dari dalam rumah.
            “Di mana surat itu?”tanya salah satu dari kedua pria itu kasar.
            “Saya nggak tahu, pak. Kenapa anda menanyakan keberadaan surat yang begitu penting kepada saya?”jawab suamiku.
            “Pembohong! Cepat berikan kepada kami!”
            “Betul, pak.”
            “Halah! Langsung geledah saja rumah ini!”
            Kemudian terdengar bunyi kursi, meja, asbak, dan lukisan yang dilempar kasar, diobrak-abrik begitu saja oleh kedua preman itu. Suamiku berusaha menghalangi mereka, tapi kemudian suara tembakan terdengar begitu pedih di telinga dan hatiku. Aku membuka tirai pembatas dan melihat kekacauan yang dibuat kedua preman itu. Suamiku terkapar di lantai penuh darah. Aku berlari menuju suamiku yang sekarat.
            “Dek, jaga anak-anak,”katanya lirih dan lemas.
            Dia kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat dan matanya pun terpejam. Terdapat senyum tipis di wajahnya, tapi itu bukan senyum yang biasanya, itu adalah sebuah senyuman terakhir. Aku terduduk lemas di samping tubuh kosong suamiku, kosong tanpa jiwa. Kedua preman itu mengobrak-abrik seluruh rumahku, mencari sesuatu yang entah itu apa. Aku tidak peduli dengan mereka. Suamiku mati, mati di depanku.
***
1969
            Sudah tiga tahun setelah kematian suamiku. Anak-anakku sudah mulai besar. Anak pertamaku, Yanto, sekarang sudah masuk SD. Aku pun sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus, sekiranya cukup untuk membiayai hidupku dan kedua anakku. Anak keduaku, Supri, sebentar lagi juga akan masuk sekolah. Aku berusaha menjaga amanah dari suamiku. Aku berusaha membesarkan kedua anakku dengan baik. Semoga mereka benar-benar menjadi anak yang baik dan membanggakan aku serta Mas Marno yang sudah ada di surga.
            Sudah tiga tahun setelah kematian suamiku, tetapi hatiku belum berubah. Aku masih sangat mencintainya dan merindukan keberadaannya. Terkadang, suaranya masih terdengar lirih di telingaku. Entah itu benar suara mas Marno atau hanya suara ingatanku kepadanya. Kerinduanku kepada suami tercinta tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku terlalu mencintai dan merindukan suamiku yang mati dibunuh.
            Sepulang dari kantor pada hari itu, aku begitu merindukannya, merindukan suamiku. Aku pergi ke belakang rumah, tempat di mana dia dulu sering melakukan hobinya. Aku ingin mengenangnya, aku tidak ingin rasa rindu ini hilang begitu saja. Bagiku, ketika ingatan tentang Mas Marno hilang, dia juga akan benar-benar hilang dari dunia ini. Aku tidak mungkin rela Mas Marno dilupakan begitu saja, setidaknya aku masih ingat dan begitu mencintainya.
Ruangan itu berdebu, memang sudah lama aku tidak memasuki ruangan itu. Di meja panjang yang ada di tengah ruangan, terdapat radio yang belum selesai diperbaiki dan beberapa benda-benda kecil lainnya. Aku mengamati benda-benda itu dan tersenyum kecil. Mas Marno, dia belum selesai mengotak-atik radio kesayangannya ternyata.
Aku menyeret sebuah kursi. Awalnya aku ingin duduk dan mengamati radio kesayangan suamiku ini, tetapi kursi yang ku seret sedikit aneh. Terdapat suara gemeletak dari dalam kursi. Aku memeriksa kursi itu dan menemukan sebuah laci rahasia. Di dalam laci itu terdapat barang-barang penting seperti cicin pernikahan kami, sebuah medali, dan dua amplop surat. Amplop yang satu berwarna coklat dan yg lain berwarna putih. Diatas amplop putih, terdapat namaku yang tertulis jelas. Aku membuka amplop itu dan mulai membacanya dari awal.
Istri tercintaku,
            Maaf aku harus pergi duluan ke akhirat. Aku tahu, sebentar lagi akan ada antek-antek Soeharto yang datang mencariku. Aku tidak bisa jamin aku akan tetap hidup setelah mereka datang. Untuk itu aku menulis surat ini, surat khusus untukmu, dek. Maafkan suamimu yang tidak becus ini. Aku sangat mencintaimu dan anak-anak kita, tapi ini pengabdianku untuk bangsa Indonesia, tempat di mana istri tercinta dan anak-anakku hidup.
            Dek, di amplop coklat itu ada sebuah surat. Jaga surat itu baik-baik. Itu adalah naskah asli surat perintah 11 Maret. Jangan sampai surat itu jatuh ke tangan Soeharto atau antek-anteknya. Surat itu adalah sejarah bangsa ini. Nantinya, rakyat Indonesia harus tahu mengenai surat perintah 11 Maret yang asli. Ketika waktunya tepat, sampaikan surat itu kepada dunia! Aku tahu kamu, dek. Aku tidak hanya menikahi seorang wanita yang cantik, tetapi wanita yang aku nikahi ini juga seorang wanita yang begitu pintar. Jangan bahayakan dirimu, tunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan surat ini kepada masyarakat luas.
            Dek, maafkan aku. Kamu harus menjaga kedua anak kita sendirian. Tapi ini sudah takdir bagi kita. Aku sangat mencintaimu, aku yakin kematian juga tidak akan menghilangkan rasa cintaku kepadamu. Sekian, sampaikan rasa cintaku kepada anak-anak dan tolong ceritakan tentangku kepada Supri. Katakan maafku kepadanya karena bapaknya ini harus meninggal ketika dia masih kecil dan belum bisa mengingat apapun tentangku. Sampaikan juga rasa banggaku kepada Yanto, bapak begitu bangga melihatmu yang pintar menggambar dan begitu menyayangi adiknya. Dek, kamu tidak perlu ragu tentang rasa cintaku kepadamu dan keluarga kita. Aku minta tolong kepadamu, jaga naskah asli surat perintah 11 Maret itu. Jangan buat aku mati sia-sia. Aku mencintamu.
                                                                                                            Suamimu,
                                                                                                            Sumarno
***
1982
            Sudah 16 tahun aku menjanda. Tidak pernah sekalipun terfikir olehku untuk menikah lagi. Bagi Mas Marno, kematian adalah bentuk pengabdiannya kepada negara. Bagiku, ini adalah bentuk pengabdianku kepada Mas Marno. Aku mengabdikan hidup dan cintaku hanya untuknya.
            Anak-anakku sudah mulai besar. Yanto sedang belajar arsitektur di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Supri sebentar lagi juga akan kuliah. Katanya, dia ingin belajar sejarah. Dia sangat suka sejarah karena aku yang selalu menceritakan sejarah serta bapaknya yang juga merupakan pelaku sejarah, seperti apa yang diamanahkan Mas Marno kepadaku.
            Aku tidak pernah menyuruh mereka belajar ini atau itu, mereka memilih jalannya sendiri. Syukurlah, jalan yang mereka pilih adalah jalan yang baik dan membanggakanku. Tak kusangka anak keduaku ingin menjadi seorang sejarahwan. Semoga nantinya dia menjadi seorang sejarawan yang berpengaruh, supaya aku bisa mewariskan surat itu kepadanya, naskah asli surat perintah 11 Maret.

            Sungguh aku tidak ingin membebani anak-anakku, tetapi harapan ini tiba-tiba berkembang begitu besar. Kata-kata Supri ketika mengungkapkan niatannya mempelajari sejarah seperti pupuk yang membuat harapanku tumbuh dengan cepat. Sebuah tanggung jawab besar untuk menyampaikan sebuah rahasia terpendam negara ini akan kuserahkan kepada anak keduaku ini. Setiap hari aku berdoa demi kesuksesan anak-anakku. Ketika kesuksesan itu dikabulkan oleh Allah, maka akan kuserahkan amanah besar ini dan aku bisa mati menyusul mas Marno dengan tenang.

Jumat, 28 Maret 2014 in

Sang Adam




Sang Adam hanyut dalam aliran lembut air sungai. Tenang dan sepi, hanya ditemani oleh suara malam yang terdengar pedih. Sang Adam hilang ditengah kesepian. Tangan yang seharusnya bisa digenggam oleh sang Adam, tengah pergi berkelana bersama awan dan rintik hujan. Sang Adam kembali bercerita kepada setiap kerikil di bawah air, cerita pilu tentang kesedihannya menanti Hawa kembali. Sang Adam mulai berkelana menyusuri memori. Terus berjalan melewati ribuan memori dengan kaki penuh luka. Lama sudah Sang Adam mencegah letupan emosi di dalam hatinya keluar. Akhirnya Sang Adam kembali bertemu Hawa di romantisme puncak gunung memori. Tangan-tangan lembut Hawa kembali menggenggam Sang Adam. Kebahagiaan menjalar keseluruh tubuh Sang Adam bak api yang disulut di atas daun kering. Adam dan Hawa kembali bersama diantara kerumunan manusia, memori, dan kebahagiaan.